Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Rabu, 31 Maret 2010

Belajar dengan Ponsel di Sekolah

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harusnya membuat pembelajaran menjadi semakin menarik dan bermutu. Kemajuan TIK memberikan berbagai fasilitas melalui produk teknologi yang bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran. Produk-produk yang dapat digunakan dalam pembelajaran antara lain televisi, radio, telepon, telepon seluler (handphone), komputer, hingga koneksi internet. Produk-produk ini harus dapat bermanfaat secara positif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.

Ironisnya, tingginya melek teknologi (literacy with ICT) di kalangan siswa tidak diimbangi oleh kemampuan guru. Hanya sebagian kecil guru yang melek teknologi di atas kemampuan siswa. Memang pesatnya kemajuan teknologi sesuai dengan zamannya. Namun hal ini seharusnya bukan menjadi kendala bagi guru untuk mengembangkan diri dan memanfaatkan teknologi dalam kegiatan pembelajaran menjadi pengajar yang handal dan paham teknologi.

Tinggi daya melek teknologi siswa dibanding guru menyebabkan banyak penyimpangan dalam penggunaan TIK. Banyak video porno yang direkam dan dilakukan oleh kalangan terpelajar melalui fasilitas handphone. Layanan internet banyak disalahgunakan oleh siswa. Kasus-kasus ini merupakan penyimpangan penggunaan teknologi karena rendahnya keterampilan teknologi yang dimiliki guru. Akhirnya, dengan kebijakan yang tidak bijak, beberapa sekolah melarang siswanya membawa handphone ke sekolah.

Apa yang bisa dilakukan oleh handphone dalam kegiatan pembelajaran?
Sebelum membedah daya guna handphone dalam kegiatan pembelajaran, penting dipahami fitur-fitur yang tersedia di dalamnya. Fitur-fitur dalam handphone di antaranya berupa telepon, pesan pendek (Short Message Service/SMS), alarm, timer hitung mundur, stopwatch, kalkulator, pemutar musik, kamera, rekaman video, rekaman suara, infrared/bluetooth, tv, hingga internet melalui berbagai koneksi).

Pertanyaannya, seberapa kreatifkah guru dalam memanfaatkan fitur-fitur ini atau malah menganggapnya fitur-fitur ini tidak berguna dalam kegiatan pembelajaran?
Fitur-fitur handphone dapat dimasukkan dalam langkah-langkah pembelajaran sebagai wujud nyata strategi pembelajaran. Tentu saja, pemanfaatan fitur-fitur handphone harus disesuaikan dengan kompetensi dasar apa yang hendak diajarkan. Guru harus mampu memilih fitur-fitur handphone yang dapat digunakan pada kompetensi dasar tertentu, bukan dipaksa-paksakan, dicocok-cocokkan.

Dalam kegiatan pembelajaran, layanan telepon dapat dimanfaatkan guru dalam menunjuk kelompok. Kelompok ini dapat dibentuk sebelumnya berdasarkan kemampuan tiap individu, bukan secara acak. Kelompok ini dapat diberikan tugas oleh guru seperti untuk penunjukkan presentasi. Penujukkan kelompok dapat dilakukan secara acak melalui fitur panggilan cepat di dalam handphone. Guru harus menyimpan nomor handphone perwakilan beberapa kelompok.
Jika tiba giliran kelompok untuk presentasi, guru cukup menekan tombol 2 hingga 9. Tunggu beberapa saat dan simak telepon siapa yang berdering. Kelompok inilah yang memperoleh giliran untuk presentasi.

Layanan pesan pendek/SMS dapat digunakan guru dalam membagi tema. Langkah ini bertujuan agar tema tiap kelompok tidak diketahui oleh kelompok lain. Caranya, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok. Guru mengirimkan SMS ke perwakilan kelompok berdasarkan beberapa tema sudah dipersiapkan sebelumnya.

Untuk membatasi waktu, guru dapat memanfaatkan alarm handphone. Dalam kegiatan presentasi, diskusi, hingga ulangan harian dapat digunakan fitur alarm. Jatah waktu yang diberikan dapat diukur dengan objektif melalui alarm. Jatah waktu tiap kelompok/tiap siswa sama, bukan berdasarkan insting, melainkan berdasarkan alarm. Layanan yang mirip dengan alarm dalam handphone adalah timer hitung mundur dan stopwatch. Layanan fitur stopwatch dapat digunakan dalam pembelajaran olah raga.

Kalkulator dapat dimanfaatkan guru dengan bijak. Ada saatnya guru memanfaatkan fitur ini dan ada saatnya tidak. Hal ini sangat bergantung pada kompetensi dasar bidang studi yang diberikan. Jika guru sedang membawakan kompetensi non-matematika dan ingin hasil cepat, tidak ada salahnya guru memanfaatkan layanan ini. Namun jika guru sedang melatih kompetensi hitung, guru harus memperhitungkan kembali pemakaian layanan hitung ini. Sekali lagi, guru harus bijak memanfaatkan layanan ini.

Dalam pembelajaran bahasa, layanan rekaman suara dapat digunakan guru dalam memberikan penguatan. Misalnya pembelajaran membaca puisi, membaca berita, membaca pengumuman, dll. Guru dapat menggunakan layanan rekaman suara dan diputar kembali untuk diberikan penguatan.

Jika layanan suara belum cukup, guru dapat menggunakan layanan rekaman video. Melalui rekaman video guru dan siswa dapat menyimak sajian audio-visual. Guru dapat memberikan penguatan sikap dan ekspresi dalam pembelajaran berpidato, membaca puisi, hingga drama.
Layanan rekaman video juga dapat digunakan guru Bahasa Indonesia dalam menulis paragraf.

Guru dapat juga memberikan tugas pada perwakilan kelompok, jika tidak semua siswa memiliki handphone berfitur kamera, untuk memotret objek atau merekam keramaian stasiun kereta api. Lalu, guru memberikan tugas menulis paragraf. Begitu juga guru bidang studi lain, guru ekonomi dapat merekam keramaian pasar, guru olahraga memberikan masukan lay-up dalam olah raga basket yang benar, dll.

Sebagai koneksi transfer data, guru dan siswa dapat memanfaatkan fitur infrared dan bluetooth. Objek yang sudah terpotret dapat dibagi kepada siswa lain atau diserahkan pada guru. Guru atau siswa dapat metransfer langsung ke laptop untuk ditayangkan melalui LCD Proyektor. Objek ini dapat disesuaikan dengan bidang studi yang diajarkan guru.

Handphone tertentu sudah menyediakan fasitas televisi. Guru bidang studi tertentu dapat memanfaatkan televisi sebagai bahan ajar. Misalkan berita, iklan, sinetron, dll. Pemilihan bahan ajar ini harus dilakukan guru secara selektif dan benar-benar membawa manfaat dalam pencapaian tujuan belajar.

Melalui koneksi data, handphone kini menyediakan layanan internet. Melalui internet, guru dapat mencari bahan ajar dan jutaan referensi dalam internet. Tentu jika menginginkan layar yang lebar, handphone dapat dikoneksikan ke laptop dan ditayangkan melalui LCD Proyektor. Jika belum puas melalui koneksi handphone, guru dapat memanfaatkan jaringan internet via kabel dan nirkabel, misal wifi.

Praktik lebih lanjut pemanfaatkan handphone dapat dikreasikan guru. Tentu tidak semua guru dapat memanfaatkan layanan handphone yangdapat dipadukan dengan produk TIK lainnya. Hal ini sangat bergantung pada ketersediaan infrastruktur TIK di sekolah dan daya melek guru terhadap TIK. Yang jelas bahwa berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan produk TIK membawa dampak positif dalam kegiatan pembelajaran menuju pencapaian hasil belajar yang lebih baik. Pertanyaannya, masihkah handphone dilarang dibawa ke sekolah?
Budaya Sasak Lombok

Budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan (Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, 1997 : 149). E.B. Taylor menguraikan bahwa budaya meliputi aspek-aspek pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan serta kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tim Dosen UNJ, 2004 : 27). Sedangkan Sasak Lombok mempunyai kaitan yang erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ia terjalin menjadi satu, yang berasal dari kata ” Sa’sa’ Loombo” yang berasal dari sa`= satu dan lombo` = lurus. maka, Sasak Lombok berarti satu-satunya kelurusan. Orang Sasak Lombok kurang lebih artinya orang yang menjunjung tinggi kelurusan/kejujuran/polos.
Dengan demikian, Budaya Sasak Lombok adalah bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan serta kemampuan lain yang diperoleh dalam kehidupan masyakarat Sasak Lombok.

A.Peran

Dalam perjalanan sejarah orang-orang Sasak Lombok sejak eksistensinya di Gumi Sasak tentu memiliki nilai-nilai yang diekspresikan, dihormati, dan dipegang teguh (budaya). Seiring perjalanan waktu, budaya-budaya tersebut mengalami pasang surut perkembangan karena munculnya tokoh-tokoh pembaharu yang berupaya untuk mengkaji ulang kembali dengan tujuan menggantikannya atau memperbaiki sebagiannya. Bagaimanapun proses perubahan-perubahan yang terjadi, marilah kita mencoba mengkaji juga peran budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
Budaya terkadang bersifat sangat abstrak dan menjadi wadah perekat sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Didalamnya terjadi interaksi sosial yang dapat menjalin dan menumbuhkembangkan rasa persaudaraan dan kebersamaan. Untuk dapat sedikit memberikan gambaran tentang peran budaya sebagai perekat social dalam kehidupan bermasyarakat. Diuraikan tradisi-tradisi (kebiasaan-beiasaan), antara lain :
1.Saling sapa dan jabat tangan, sederhana memang kelihatannya perlakuan seperti ini akan tetapi orang lain dapat memberikan penilaian yang baik sehingga akan semakin tumbuh kebersamaan, dan rasa kekeluargaan
2.Bersilaturrahmi, menjengok orang sakit, Bersilaturrahmi yang dilakukan bukan hanya sebatas ketika membutuhkan orang yang bersangkutan. Hal ini memiliki dampak psikologis yang kurang baik terhadap orang yang didatangi. Oleh karena itu, membutuhkan atau tidak sangatlah tepat untuk terus dilakukan, ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, menjenguk orang yang sakit, sungguh hal ini dapat memberikan motivasi, semangat yang besar bagi yang sakit sehingga proses penyembuhannya semakin cepat. Tentunya, orang yang sakit selalu akan mengingat kebaikan-kebaikan dari penjenguk. Hal ini merupakan suatu bentuk perekat sosial yang sangat baik
3.Saling menghargai, Adanya penerimaan dan bersedia sebagai obyek ketika subyek memiliki pendapat. Saling menghargai bukan hanya inter golongan akan tetapi juga antar golongan termasuk perbedaan suku, ras, dan agama. Di Lombok secara lebih khusus, haruslah kita melestarikan hubungan dengan beberapa etnis yang ada seperti etnis Bali, Cina, Arab dan lain sebagainya. Dalam hal ini, kita harus menghilangkan, atau meminimalisir disharmoni antar golongan tersebut. Dalam hal ini, Perlu disajikan apa yang ditulis oleh I Gde Mandia, AH dan I Ketut Panca Putra, BA dalam sebuah artikel Melestarikan Hubungan Harmonis Antara Etnis Sasak dan Bali di Lombok Tahun 2002, sebagai berikut :
“Khususnya kami yang mewakili etnis Bali menyampaikan terimakasih yang dalam, kepada saudara-saudara kami etnis Sasak yang dalam hal ini berposisi sebagai tuan rumah yang bukan saja baik, tapi sangat baik. Bukan saja baik terhadap etnis Bali tetapi kepada semua etnis pendatang”.
Akan tetapi perlu pula disajikan apa yang ditulis oleh Ir H. Jelengga dalam sebuah tulisan “Kerajaan Pejanggik & Pasca Pejanggik (Sejarah Lombok Versi Pejanggik)” sebagai berikut :
“Keberadaan suku Bali yang beragama Hindu di-Lombok, telah melalui proses panjang dan kenyataan sejarah, sehingga mereka berhak disebut dan menyebut dirinya Orang Lombok Ber-Etnis Bali. ….Ekspansi Karang Asem berlatar belakang ekonomi bukan politik karena pada kenyataannya lebih banyak orang Hindu masuk Islam daripada Orang Islam khususnya Sasak yang masuk Hindu….Bahwa sejarah adalah masa lalu yang telah lenyap. Kita tidak bisa memutar peredaran waktu mundur ke belakang menghapus dan meniadakan yang pahit dan yang buruk dan tidak bias diukur dengan nilai masa kini. Yang terpenting adalah mengambil hikmah dan pelajaran dari masa lalu untuk menapak masa depan. Bahwa kita bias hidup dengan kebersamaan di tengah perbedaan karena perbedaan adalah hikmah. Tuhan sengaja menciptakannya untuk kita saling kenal mengenal”

Selain peran-peran tersebut, budaya memiliki peran-peran yang sangat strategis untuk menunjukkan karakteristik masyarakat, asset pariwisata budaya, rekreasi bagi bagi masyarakat dan lain-lain.
Untuk memaksimalkan peran budaya tentunya harus didukung etika, sopan santun agar membuahkan pandangan yang menyenangkan baik dari segi martabat ”quality” dan penampilan ”appearance” yang baik, meliputi : (Umar Berlian, 2008)
1.Keluwesan ”charme” yaitu suatu sikap dan keadaan pribadi seseorang yang menggambarkan kebaikan hati dan perhatian terhadap sesama manusia.
2.Cara berpakaian yang menyangkut kecocokan, keserasian, dan ketepatan situasi dan kondisi, harus menampakkan kerapian, dan senang dipandang, terlebih lagi kita berada dalam suatu pergaulan resmi seperti menghadiri acara resmi kemasyarakatan
3.Cara bercakap-cakap. Orang dapat menarik percakapannya karena ia berpengalaman luas atau cara-caranya ia menerangkan sesuatu. Perlihatkan bahwa kita memberikan perhatian terhadap orang lain. Jikalau kita tidak memiliki pembawaan untuk bercakap-cakap dengan mudah, kita dapat menyesuaikannya dengan cara mendengarkan pembicaraan orang lain sepenuhnya.
4.Menata gerak-gerik fisik seperti berjalan, duduk, makan dan minum dan berbicara dihapan umum ”public speaking”. Pada prinsipnya kita harus dapat melakukannya dengan baik dan mengaplikasikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.



B.Nilai-Nilai
Budaya memiliki nilai-nilai yang dapat mengantarkan masyarakat pendukungnya menuju kehidupan yang lebih baik. Budaya Sasak memiliki nilai-nilai filosofis yang agung, justru menjadi sebuah konsep dalam peradaban modern. Beberapa konsep-konsep yang dimaksudkan antara lain :
1.Pemerintahan yang bersih (Clean Goverment() terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme telah dilakukan oleh nenek moyang kita. Ketika mereka menyelesaikan sebuah kasus (Problem Solving), mereka melalui musyawarah (demokrasi) yang dilaksanakan di tempat terbuka seperti berugak, mereka duduk secara bersama tanpa ada yang harus disembunyikan,
2.Perlindungan terhadap alam (Save Our Nation), permasalahan yang saat ini sedang mengemuka adalah “pemanasan global”. Perlindungan terhadap alam, para pendahulu kita sebelum melakukan proses penanaman padi ataupun penebangan kayu mereka awali dengan upacara “Ngayu-Ayu”, yang berisi pesan-pesan moral untuk tetap memperhatikan kelestarian alam, mereka tidak sembarangan kalau mau memanfaatkan sumber daya alam,
3.Ketahanan Pangan (Food Survival), nenek moyang di Gumi Sasak, jauh sebelum Indonesia merdeka, mereka menyimpan padi di lumbung dengan menggunakan sekat-sekat. Sekat-sekat tersebut menunjukkan adanya tahapan pemanfaatan secara teroorganisir artinya bila telah sampai pada tahapan akhir. Harus warning untuk mereka berhemat-hemat dalam mempergunakan bahan pangan.
4.Persatuan, Kesatuan dan Rela Berkorban, budaya bau nyale memiliki nilai filosofis yang sangat dalam. Dalam sebuah legenda, ketimbang akan menimbulkan perpecahan di antara sesama, maka Putri Mandalika mengorbankan dirinya sehingga seluruhnya dapat mengambil manfaat darinya.
5.Keselamatan, seperti acara Rebo Buntung yang dilaksanakan pada hari Rabu, minggu terakhir di bulan Safar. Khusus di Pringgabaya, tradisi tersebut dilakukan dengan membuang tiga macam sunsunan sebagai perlambang adanya tiga fase yang dilalui oleh masyarakat sasak serta bertujuan untuk menolak bala. Tiga macam sunsunan tersebut yaitu
a.Sunsunan Ratu, yang di dalamnya terdapat Ayam Hitam melambangkan bahwa pada masyarakat Sasak telah melalui fase animisme
b.Susunan Wali, yang didalamnya terdapat Ayam Bengkuning melambangkan bahwa pada masyarakat Sasak telah melalui fase Islam Wetu Telu (Sinkretisme antara ajaran Animisme, Hindu dan Islam)
c.Sunsunan Rasul, yang di dalamnya terdapat Ayam Putih Mulus melambangkan bahwa pada masyarakat Sasak sedang melalui fase Islam Waktu Lima (sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW) seperti yang sekarang ini.
6.Keimanan terhadap Allah SWT, dalam berpakaian masyarakat suku Sasak menggunakan sapu’ (ikat kepala) yang ujung bagian depannya lancip ke atas, menunjukkan akan pengakuannya terhadap Allah SWT. Dimana saja dia berada harus ingat kepada Sang Khalik yang menciptakannya

C.Internalisasi
Perkembangan sains dan teknologi di abad ultra modern ini telah memberikan manfaat terhadap hidup dan kehidupan manusia, akan tetapi disisi yang lain telah memberikan dampak yang sangat memprihatinkan terhadap minusnya apresiasi nilai-nilai yang telah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Minusnya nilai-nilai tersebut berimbas terhadap pola prilaku dan dekadensi moral yang kian sulit diatasi. Egoistis dan individualistis semakin mengedepan. Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan serta kenakalan remaja yang kita saksikan lewat media massa merupakan masalah eksponensial yang harus dicarikan solusi pemecahan masalahnya.
Kehilangan jati diri berarti kehilangan nilai-nilai yang mengakar dan menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Bangsa yang maju adalah bangsa yang dapat membangun dengan karakteristiknya tanpa harus meniru bangsa lain. Dengan kata lain “Pembangunan yang dilakukan dengan meninggalkan nilai-nilai budaya suatu bangsa adalah kemustahilan”. Kalaupun ada bangsa yang disebut maju, kemudian meninggalkan nilai-nilai yang paling hakiki dalam hidupnya, manusia sesungguhnya kemajuan semu dan gersang yang diperoleh. Oleh sebab itu, perlu dilakukan internalisasi nilai-nilai budaya yang positif melalui lingkungan keluarga (informal), lingkungan masyarakat (non formal), lembaga pendidikan (formal).
Jika dalam penulisan artikel ini terdapat kekurangan, tiang nunas ma’af yang sebesar-besarnya. “te saling junjung leq kebagusan, te saling periri leq kekurangan” tiang sudah berupaya untuk menulis sebagaimana Songgak Sasak “aik mening tunjung tilah, mpak bau”. (ibarat mengambil helai rambut dari tepung).

Mahasiswa dan Sendal Jepit

 “Heh, kenapa pakai sendal jepit masuk kuliah? Keluar kamu!”

“Apa salahnya jika saya masuk memakai sendal jepit Pak?” Mahasiswa itu tampak gerah ketika dosen mengusirnya.

“Tidak sopan!”

“Hah! Tidak sopan? Dimana letak ketidaksopanannya? Lucu yah Bapak ini, Master tapi kok tidak bisa berpikir rasional sih. Apa hubungannya ketidaksopanan dengan sendal jepit Pak? Maunya Bapak lebih mempertanyakan apakah saya kerja tugas, apakah saya baca buku, atau sampai dimana diskusi saya mengenai mata kuliah ini!”


“Banyak bicara kamu! Tutup pintu dari luar…!” Wajah sang dosen tampak kemerahan.

Tanpa pikir panjang, mahasiswa itu segera berdiri dari tempat duduknya. Ia melenggang seenaknya, tampangnya begitu kesal dengan sikap dosen yang mengusirnya. Salah satu tangannya memegang sebuah binder berisi kertas seadanya sedangkan tangan lainnya mengurut kepalanya yang mungkin pening. Dosen baru saja mengusirnya dari ruangan, ia tidak berhak mengikuti kuliah kali ini. Tetapi mahasiswa yang menggunakanku ini tampaknya tidak peduli dengan pengusiran tersebut, ia mengayunkan aku sesuka hati keluar dari ruangan. Tampak begitu cuek dengan tatapan mahasiswa lain yang menggenakan sepatu. Dia tidak peduli.

Belum cukup sejam aku mengalasi kaki. Aku terpilih untuk ditukar dengan uang, mengalahkan sainganku yang lain di warung mace, sebuah warung kecil di samping pondokan tempat mahasiswa ini tinggal. Aku sebenarnya tidak tahu persis nama tuan pemilik warung tempat diriku di jual, tetapi begitulah yang sering aku dengar, mace, yah mahasiswa yang berbelanja di warung kecil itu kerap memanggil pemilik warung dengan sebutan mace. Beberapa hari yang lalu aku akhirnya tau kalau mace itu adalah panggilan gaul untuk mama atau ibu. Mungkin mahasiswa perantau itu merindukan sosok ibu mereka di kampung, dan mace yang menyediakan warung makan sekaligus barang kebutuhan sehari-hari itu bisa menepis sedikit rindu mereka. Di warung itu mereka bisa makan, makanan seperti masakan di rumah, dan jika kirimin belum datang kadang-kadang mereka mengutang dulu.

Orang yang melihatku pasti akan tahu persis kalau diriku masih baru, belum lama keluar dari plastik yang membungkusku. Setiap permukaanku masih keset, bahkan tak jarang menghasilkan suara mencicit. Warnaku yang terdiri atas dua warna masih sangat cerah, tidak kumal. Karetnya masih tebal. Tetapi mengapa dosen itu melarangnya masuk mengikuti kuliah hanya karena memakaiku? Bukankah aku jauh lebih bersih di bandingkan sepatu-sepatu yang dikenakan mahasiswa-mahasiswa lain?

Mungkin di pondokan sana, tempat mahasiswa ini tinggal, orang yang membeliku di warung mace tengah kelimpungan mencariku. Tadi setelah ia membeliku, ia sempat memakaiku masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia masuk kamar dan menutup pintunya. Karena buru-buru hendak masuk kuliah, orang ini langsung saja menyambarku. Aku yang baru saja di beli telah raib di gunakan oleh mahasiswa yang bermaksud baik ingin mencari ilmu, tetapi malah di usir karena mengenakanku. Bisa jadi ia mendapatkan karma karena telah memakai barang yang bukan miliknya. Aku rasa bukan itu, aku menjadi terlarang karena manusia-manusia itu membuat aturan yang menyesakkan, etika bersepatu yang entah perbuatan siapa, mungkin hanya isu yang sengaja di sebar pembuat sepatu agar produknya laku.

Pijakanku memasuki sebuah gedung. Isi gedung terlihat agak berantakan. Di tempat ini, lebih banyak mahasiswa yang menggunakan teman-temanku, sesama sendal jepit. Beberapa di antara teman-temanku itu sudah tua dan usang bahkan telah menipis. Beberapa di antaranya meski sudah tua tapi masih bersih, tampaknya sang pemilik begitu merawatnya. Dan beberapa lainnya bertuliskan nama sang pemilik sebagai sebuah identitas.

Mahasiswa itu memarkirku di depan pintu. Melepasnya begitu saja hingga membuatku tergeletak tak beraturan, bahkan bagian kiriku tertelungkup karena di lepas bebas, tampaknya ia melepasku dengan rasa jengkel yang membuncah dan di lampiaskannya padaku. Ia pun memasuki sebuah ruangan tanpa alas kaki, ruangan yang di penuhi mahasiswa.

“Kok lesuh?” Tanya mahasiswa lain di dalam ruangan.

“Di usir dosen gara-gara memakai sendal jepit. Huh kesalnya…” Ia pun duduk di atas tikar tepat di samping temannya. “Kenapa sih dilarang masuk kuliah kalau memakai sendal jepit?”

“Hehe… Katanya sendal jepit tidak mencirikan intelektualitas. Tidak berkelas. Tapi kita ini kan mahasiswa, kenapa harus mengikuti aturan yang tak jelas seperti itu. Hehehe…”

“Iya, masalahnya pembatasan tidak logis itu membuat kita tak mampu mengaktualisasikan diri.

“Sudahlah! Oh iya tadi kamu di cari ketua himpunan, katanya proposal untuk kegiatan besok kamu simpan dimana?”

Percakapan merekapun berlanjut, tampak begitu serius.

###

“Sendal jepit siapa ini? Pinjam ya!” Belum juga ada jawaban dari pertanyaannya, mahasiswa lain segera mengenakanku. Membawaku berjalan menyusuri koridor hingga tiba di depan ruangan lain yang juga di huni oleh beberapa mahasiswa. Di dalam sana, ia di sambut tiga rekannya yang akan mengajaknya bermain domino.

“Malas pakai sepatu! Gerah!” Ucap seorang mahasiswa di depan pintu ruangan lain, ruangan yang berhadapan dengan tempatku di parkir. Tampak ia menjinjing sepatu yang telah usang.

“Jadi? Bukannya kamu tidak membawa sendal?” ucap mahasiswa lainnya yang tengah memegang map transparan berwarna hijau yang tampaknya berisi kertas-kertas.

Mahasiswa pertama melihatku, melihat arah mata temannya, mahasiswa lainnya ikut memandangiku. Mahasiswa pertama melangkah dengan hati-hati. Ia melirik ke dalam ruangan, yang dia lihat hanya empat orang yang disibukkan dengan kartu domino. Segera ia mengenakanku dan segera berjalan meninggalkan gedung itu bersama temannya.

Kaki dari kedua mahasiswa itu terdengar jelas menghentak lantai-lantai kampus. Menghentakkan dua pasang sendal jepit menelusuri koridor. Membawaku berjalan menjejaki tempat-tempat baru tapi mungkin tidak bagi sendal jepit di sebelahku yang tampak telah tua dan menipis.

“Aku lebih suka memakai sendal jepit, lebih nyaman. Sepatu adalah penyiksaan dan penindasan!”

“Aku rasa semua orang akan sependapat dengan hal itu. Aku juga tak begitu menyukai barang yang sangat menggerahkan itu. Memakainya berjam-jam membuat kakiku terasa terbakar.”

“Lihat sendal jepitku ini memang sudah butut tapi masalah pengalaman jangan di tanya, dia sudah senior, sudah makan asam garam jalanan jenis apapun! Malah kalau kamu tanya alamat ke dia pasti dia bakal mengantarkan kamu kesana.”

“Hallah… kamu ada-ada saja. Entah sendal jepit siapa ini, kayaknya masih baru, masih mulus.”

“Hahahaha…” Keduanya tertawa begitu renyah.

###

Aku sangat bahagia di ciptakan sebagai sendal jepit, walaupun di letakkan di bawah dan di injak-injak, setidaknya aku berguna bagi manusia. Aku melapisi antara kaki dengan sesuatu yang akan dipijaknya. Dengan harga yang terjangkau, aku bisa dimiliki oleh semua orang. Baik kaya ataupun miskin. Tak mengenal derajat bangsawan ataupun masyarakat biasa. Tidak memandang profesi, petani, pekerja kantor, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lainnya.

Kami di produksi untuk siap menghadapi cuaca basah ataupun kering. Tak pernah mengeluh ketika di penuhi kuman kaki. Tak marah ketika di hitamkan debu. Lagipula apa gunanya aku marah dan mengeluh jika akhirnya masuk tong sampah juga. Ketika salah satu taliku putus atau ketika aku telah usang dan menipis.

Kami tercipta untuk menemani langkah kaki ke pantai. Sang pemilik bercerita dengan laut sedangkan kami akan bermesraan dengan pasir. Atau setia mengawali langkah menuju puncak gunung. Sang pemilik akan berbahagia mencapai puncak sedangkan kami bercinta dengan lumut basah. Juga tak pernah letih menghabiskan waktu untuk bersua dengan lantai atau bersahabat dengan karpet. Semua siap kami jejaki.

Tetapi banyak hal yang membuat orang-orang ini harus mewaspadai memakaiku. Mereka memakaiku dengan mencengkram tali penunjang kehidupanku menggunakan dua jarinya, cengkraman yang terlalu sering tersebut dapat menyebabkan jarinya bengkok. Tali karet yang menggesek di antara dua jari kaki juga bisa menyebabkan kulit kaki menjadi melepuh. Dan aku di desain tidak memiliki lengkungan pendukung yang bisa menyebabkan tumit sakit jika memakainya berjalan jauh. Aku tidak memiliki penutup sehingga bisa menyebabkan kulit sang pemakai menjadi belang jika di gunakan di bawah terik matahari.

Paling tidak resiko itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan sepatu. Sepatu bisa menyebabkan kaki panas bahkan bisa menghasilkan bau apek. Apalagi sepatu berhak tinggi, benda ini dapat menyebabkan betis dan tumit menjadi sakit bahkan bisa menyebabkan varisies yang bisa mengakibatkan seseorang sulit untuk berjalan bahkan berdiri.

Walaupun terkadang aku di nista tapi tak dipungkiri kalau aku sangat dibutuhkan. Lucunya, walaupun hargaku cukup terjangkau, tak jarang aku diambil orang secara sengaja atau pun tidak sengaja. Seperti hari ini, meski umurku belum lama tetapi aku telah dikenakan oleh empat orang sekaligus. Mungkin ke empat orang itu memiliki hubungan tetapi mereka tak saling tahu kalau aku dikenakan satu dan lainnya. Jika keadaannya begini, kadang aku sedih karena tercipta dan menyebabkan dosa.

###

Kedua pemuda itu memasuki sebuah gedung yang memiliki bentuk berbeda dari pada gedung-gedung yang telah aku jejaki sebelumnya. Gedung ini lebih megah dengan desain interior yang sangat menarik. Keramik-keramik yang lebih mewah. Lebih enak di pijak.

DILARANG MEMAKAI KAOS OBLONG DAN SENDAL JEPIT

Mahasiswa yang mengenakanku membaca pengumuman itu. Pengumuman yang tertera di depan ruangan. Di tulis dengan huruf Arial berukuran 80 yang di cetak di atas kertas A4 di tempel tepat di tengah pintu kaca.

“Gimana ini?” Tanyanya sambil melihatku.

“Tidak apa-apa!”

“Kamu yakin?”

Temannya tidak menjawab.

Mereka pun membuka pintu kaca itu. Seorang lelaki sedang sibuk dengan surat-surat, ia tampaknya menyadari kehadiran kedua mahasiswa tersebut.

“Mau apa kalian?”

“Mau ketemu Pembantu Rektor bagian Kemahasiswaan Pak.”

“Kalian baca tulisan di depan, memakai kaos oblong dan sendal jepit di larang masuk?” Pertanyaannya terdengar sinis.

“Memangnya kenapa Pak, kalau kami pakai kaos oblong dan sendal jepit?

“Itu berarti tidak sopan.”

Aaah… lagi-lagi masalah ketidaksopanan. Mengapa dengan mengenakanku, seseorang dikatakan tidak sopan? Apakah karena mengenakanku diasosiakan dengan pergi ke kamar mandi atau WC? Atau karena hargaku yang terlalu murah? Apakah kesopanan di dunia manusia sebatas materi?

“Bukannya kami tidak sopan Pak, tapi…

“Kami merasa terhina kalau kalian menggunakan sendal jepit.” Bapak itu langsung memotong pembicaraan sang mahasiswa.

Heh… dimana letak keterhinaannya? Aku yakin dia memakai sendal jepit bukan bermaksud menghina, begitu pula orang yang memakaiku untuk masuk kuliah, ia memakai sendal jepit tidak bermaksud menganggu jalannya perkuliahan.

“Siapa yang mau menghina Pak? Kami hanya ingin bertemu Bapak Pembantu Rektor. Kami menghormati beliau dan sepatu hanyalah teori etiket modern yang tidak harus digunakan. Hanya formalitas Pak!”

Yah tradisi bersepatu hanya teori etiket modern yang menyesatkan yang entah di buat oleh siapa dan sejak kapan. Jika batasan akan kesopanan itu masih problematik, lalu bagaimana mungkin kesopanan yang sifatnya sangat subjektik di pakai untuk aturan kolektif? Mahasiswa memang baik, selalu membelaku.

“Dengan gaya berpakaian kalian itu berarti kalian menganggap remeh Pak PR dan institusi kita.”

“Awalnya tidak sopan, kemudian menghina sekarang menganggap remeh. Bapak ini ada-ada saja. Apa hubungannya semua itu? Itu hanya perasaan Bapak saja sebagai individu bukan sebuah penghormatan terhadap birokrasi. Bapak berpikir pakai apa sih?”

“Dasar, mahasiswa-mahasiswa tak berakhlak!”

“Tunggu dulu Pak. Apa hubungan akhlak dengan sendal jepit. Memangnya Tuhan menilai seseorang dari apa yang dikenakannya? Katanya ini kampus, katanya tempat ini adalah sarangnya orang intelektual, namun kenapa malah banyak yang berpikiran dangkal seperti Bapak? Bapak pasti lebih suka memakai sendal daripada sepatu yang membuat kaki berbau apek kan?”

“Kalian betul-betul mahasiswa kurang ajar! Keluar!” Suaranya terdengar begitu lantang. Menggema. Memantul di antara tembok-tembok bercat putih di ruangan tersebut.

Ada apa ini?” Seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar keluar dari sebuah ruangan. Ia mengenakan pakaian safari dan kakinya di alasi sendal jepit.

“Ini Pak, ada mahasiswa mau ketemu Bapak tapi mereka memakai kaos oblong dan sendal jepit, makanya saya larang masuk.”

“Hanya karena kami memakai kaos oblong dan sendal jepit dilarang ketemu Bapak, malah kami di katakan tidak sopan, menghina bahkan meremehkan. Saya heran Pak!”

“Bukankah jauh lebih banyak yang lebih menyukai memakai sendal jepit daripada sepatu. Seharusnya asas demokrasi di mulai dari sini Pak. Sendal jepit tidak layak menjadi alasan tata krama atau sejumlah etika yang sebenarnya bukan milik kita ” Sambung mahasiswa lainnya.

“Iya Pak, Bapak sendiri memakai sendal jepit, kenapa kami tidak bisa.”

“Itu dia Pak, Bapak pasti merasa lebih nyaman dengan menggunakan sendal itu. Sekarang,terlalu banyak barang yang dikomsumsi bukan berdasarkan fungsi tetapi hanyalah symbol belaka. Apalah guna mahasiswa berpakain bagus, rapi dan bersepatu tetapi tak berguna bagi masyarakat.”

Sang Bapak tampak kelimpungan mendapat serangan bertubi-tubi tersebut.

“Saya baru dari kamar kecil, jadi saya menggunakan ini agar tidak repot. Kami tidak bermaksud membelenggu kreativitas kalian dengan pelarangan menggunakan sendal jepit. Kami menyadari, birokrasi hanyalah manusia, tidak bersih dari nafsu, tetapi di tempat ini kami telah menyepakati untuk berpakaian rapi dan indikatornya itu tanpa kaos oblong dan sendal jepit. Saya tak usah menyampaikan banyak pembenaran mengenai ini. Sebenarnya maksud kalian menemui saya untuk apa?”

“Hmm… begini Pak, kami mau…”

“Kami mau mengurus beasiswa Pak!”

“Iya Pak, bagaimana caranya kami membeli sepatu, kalau biaya kos saja masih nunggak, makan pun harus ngutang.”

“Kalau begitu silahkan masuk!”

Kedua mahasiswa itu saling berpandangan, tampak begitu sumringah. Bapak yang di temuinya di awal tampak mencibir ke arah mereka. Namun mereka tidak peduli mereka segera masuk ke ruangan Bapak Pembantu Rektor.

Aku pikir mereka ikhlas membelaku rupanya mereka juga mengingikan sepatu. Benda yang nantinya akan meletakkan pada posisi terhina.